Akhirnya si kembar lahir juga. Hari yang dinanti-nantikan oleh Ishak dan Ribka. Ishak duduk di luar tenda, menunggu dengan gelisah, sementara mendengar erangan Ribka. Menit demi menit berlalu, tentu ini tak seberapa dibanding duapuluh tahun penantian. Bunyi teriakan Ribka makin lama makin keras, dan akhirnya terhenti. Berganti dengan tangisan ramai dua bayi.
Sang bidan yang membantu kelahiran Ribka, keluar dari tenda dan memanggil Ishak masuk. Sesaat Ishak terpana menyaksikan dua bayi – darah dagingnya sendiri – untuk pertama kali. Yang satu lahir berbulu, satunya lagi mulus.
Sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata, sang bidan bersuara lirih, “Tuan, yang berbulu lahir duluan, dan adiknya keluar sambil memegang tumitnya…”
Ribka tercenung mendengarnya. Teringatlah ia akan apa yang Tuhan firmankan kepadanya, saat ia meminta petunjuk. Walau hatinya tidak sepenuhnya mengerti, ia hanya memejamkan matanya, bersyukur akan hari besar ini.
Ishak menamai anak sulungnya Esau, artinya ‘berbulu’, sebagaimana ia lahir dengan bulu lebat menutupi tubuhnya. Esau dalam bahasa Ibrani, artinya bulu /rambut. Dan yang kedua dinamainya Yakub. Dalam bahasa Ibrani, kata Yakub, bisa berarti ‘tumit’atau ‘curang’.
Kedua anak kembar ini tumbuh berlainan. Esau bertumbuh menjadi seorang yang ‘macho’, gagah perkasa, berbulu, dan gemar berburu. Berbulu, gemar berburu dan suka terburu-buru. Tak ayal, Esau menjadi anak kesayangan Ishak yang juga senang berburu. Berdua mereka, mengarungi padang perburuan, pedang dan busur adalah koleksi mereka.
Sebaliknya Yakub adalah anak rumahan, anak mami. Senangnya masak memasak bersama Ribka. Koleksinya adalah resep-resep masakan Timur Tengah. Sudah tentu, dia adalah anak kesayangan Ribika.
Satu hari menjelang senja, mentari masih bersinar terang dan sisa-sisa panasnya masih terasa menyengat bumi. Yakub sedang sibuk di memasak di tempat terbuka. Periuknya mengayun pelan ditiup angin di atas api. Dengan telaten Yakub mengaduk-aduk masakannya. Semerbak harum masakannya tertiup angin ke mana-mana.
Datanglah Esau dari perburuannya. Seluruh tubuhnya berlepotan lumpur dan keringat. Kelihatannya bukan hari yang terlalu baik bagi dia, mukanya terlihat lelah dan suntuk. Tangannnya juga hampa. Mencium bau masakan itu, benar-benar membangkitkan seluruh indera tubuhnya untuk bereaksi. Beranjaklah ia mendekati Yakub yang sedang memasak.
Yakub pura-pura tidak melihat, sibuk mengaduk-aduk, membuat asapnya tambah menyebar.
“Berikan kepadaku sop merah yang kamu masak itu! Aku benar-benar kelaparan!” Esau berseru pada Yakub.
Yakub tetap terdiam, pura-pura tidak mendengar. Esau mulai merasa kesal dan rasa laparnya ditambah aroma sedapnya itu melumpuhkan otaknya. Mukanya mulai memerah.
“Juallah dulu hak kesulunganmu kepadaku, “ ujar Yakub dengan santai.
“Huh!” Esau mendengus. “Aku sudah mau mati kelaparan sekarang, apa gunanya pula hak kesulungan itu!”
“Bersumpahlah dulu padaku, “ Yakub menjawab acuh tak acuh. Kepalanya menunduk menyembunyikam rasa girang di wajahnya.
Esau pun bersumpah dan menjual hak kesulungannya, ditukar dengan semangkuk sup kacang merah dan sekerat roti. Akal panjangnya tak bisa berjalan, ketika hawa nafsu lapar dan lelahnya mengendalikan dirinya. Namun juga, menyingkapkan satu rahasia di sudut hatinya yang gelap – ia sebetulnya tidak menghargai hak kesulungannya. Ia memilih melampiaskan nafsu sesaatnya daripada memiliki hak kesulungan yang berharga panjang sampai pada keturunanya.
Esau menghabiskan sop dan rotinya dengan rakus. Sekejap saja, hilang. Lalu ia beranjak pergi, meninggalkan Yakub. Demikianlah keturunannya juga dipanggil “Edom”, artinya merah – dari sop kacang merah tersebut yang lenyap dalam sekejap – sebagai pengingat abadi, bagaimana suatu harta tak ternilai hilang hanya oleh semangkuk sup kacang merah.
Ribuan tahun kemudian, penulis surat Ibrani menuliskan kisah ini sebagai rujukan agar kita tidak menolak anugerah Allah, hanya karena kesenangan duniawi sesaat.
Esau dan Yakub. Kisah dua bersaudara yang memilki jalan yang berbeda. Jalan itu ditentukan oleh pilihan mereka. Esau tidak menghargai berkatnya, sebaliknya Yakub memandang tinggi berkat Allah.
Sejak pemilhan Yakub dari kandungan, Allah sudan mengisyaratkan kepada Rebeka, bahwasanya Dia bekerja dengan anugerah. Dia tidak memilih berdasarkan baik atau buruk, semua semata-mata adalah anugerahNya. Esau yang gagah perkasa, tidak menghargai anugerah itu, Yakub yang merasa lemah menghargainya.
Seringkali kita juga begitu, bukan. Kalau saat kita sedang di puncak, karir bagus, uang banyak, perhatian kita tertuju kepada hal-hal tersebut. Rasanya anugerah Allah bukan prioritas lagi. Atau sebaliknya ketika kita terpuruk, atau hidup dalam kekuatiran terus menerus, karena kita mengandalkan daya kekuatan kita, seperti Esau. Kita cuma melihat hidup melulu dalam perspektif kita, soal uang, soal hidup mati, soal makan apa – dan sayang, kalau kita melewatkan anugerah itu, yang sudah disediakan bagi kita.
Esau tidak menghargai hak kesulungannya, karena ia berpikir pendek, ia mengarahkan matanya pada apa yang kelihatan. Tetapi, apa yang kelihatan ini sebetulnya akan berakhir. Yang kelihatan nyata, seperti gedung, mobil, baju tidak abadi. Perkara yang tidak kelihatan, justru adalah yang abadi. Kita cenderung memfokuskan pandangan kita pada apa yang kelihatan juga, padahal yang kekal, hal-hal yang rohani adalah hal yang tidak kelihatan.
Walaupun Yakub, menghargai berkat Allah tersebut, ia belum memahami, bahwa anugerah Allah bertolak belakang dengan usaha manusia. Ia memutuskan bahwa ia harus berjuang dengan kekuatan sendiri, dengan akal dan tipu daya untuk memperolehnya. Sepanjang hidupnya, Allah mengajar Yakub dengan sabar, bahwa bukan ‘karena kuat gagah’, bukan ‘karena akal cerdik’, tetapi semata-mata karena anugerah Allah. Kelak kita lihat, hidup Yakub dipenuhi lika-liku karena ia bergumul antara mengandalkan kekuatannya sendiri atau percaya dan berserah kepada Allah.
Yakub mungkin lega berpikir ia akhirnya memperoleh ‘hak kesulungannya’ tersebut. Sayang, ia tak tahu, itu semua sudah dipersiapkan baginya, bila ia berserah pada anugerah dan panggilan Allah. Banyak dari kita juga begitu, kita bersusah payah untuk mengisi air pada ember yang bocor, bekerja sampai larut malam, tak menyadari bahwa Allah memberikan kepada yang dicintai-Nya, pada waktu mereka tidur! Sia-sialah para penjaga kota berjaga sampai larut malam, kalau bukan Tuhan yang menjaga kota, mazmur Daud. Sia-sialah kita makan roti keringat berasa pahit dan asam, membanting tulang sampai malam, padahal Allah memberikan berkatnya pada waktu mereka tidur. Ambillah pelajaran dari Yakub ini. Kalau kita sudah tahu tentang berkat Allah, percaya dan berserah padaNya. Beristirahat di dalam hadiratNya, gantinya memfokuskan pada masalah kita, karena di waktu kita beristirahat, Allah bekerja.
Add Comment