Ngopi

Tangga Menuju Sorga

Yakub meninggalkan Bersyeba dan berangkat ke Haran. Pada waktu matahari terbenam ia sampai di suatu tempat, lalu bermalam di situ. Ia berbaring hendak tidur; kepalanya berbantalkan sebuah batu. Kemudian bermimpilah ia bahwa ia melihat sebuah tangga yang berdiri di bumi dan ujungnya mencapai langit dan malaikat-malaikat turun naik di tangga itu. Dan di sampingnya berdirilah TUHAN dan berkata, “Akulah TUHAN, Allah yang dipuja Abraham dan Ishak. Aku akan memberikan kepadamu dan kepada keturunanmu tanah tempat engkau berbaring ini. Keturunanmu akan sebanyak debu di bumi. Mereka akan memperluas wilayah mereka ke segala arah, dan melalui engkau dan keturunanmu, Aku akan memberkati semua bangsa di bumi. Ingatlah, Aku akan menolong dan melindungimu, ke mana pun engkau pergi, dan Aku akan membawamu kembali ke negeri ini. Aku tak akan meninggalkan engkau sampai telah Kulakukan segala apa yang Kujanjikan kepadamu”

Yakub adalah orang rumahan. Sepanjang masa hidupnya, ia aman dalam naungan dan  penyediaan orangtuanya. Kini ia sendirian dan ia (berpikir), ia hanya dapat mengandalkan dirinya sendiri.  Perjalanan hidup untuk mandiri seringkali tidak mudah, dan perasaan kita seperti sendiri.  Pernah merasakan demikian? Masa depan tak pasti. Tanpa tahu persis apa yang ada di depan kita. Seringkali rasa ketidakpastian  itu yang menyiksa kita.  Dari sisi yang lain, rasa ketidakpastian itu sebetulnya bisa menjadi ladang yang subur bagi iman kita, karena  iman itu berbuah di tengah ketidakpastian.

Tuhan yang memilih Yakub karena anugerah tidak meninggalkan dia. Justru di titik terendahnya, Allah menyapa Yakub, saat ia merasa seperti sendiri.  Di atas batu yang keras, tempat ia membaringkan kepalanya, di situ Allah menyatakan dirinya lewat mimpi.

Wow! Sebuah tangga yang terbangun di atas bumi dan menuju ke sorga! Tangga itu ada di bumi, menyatakan bahwa sungguh Allah yang turun dan menyediakan jalan, bukan kita yang berusaha melompat menuju sorga. Ribuan tahun yang lalu sebelumnya, nenek moyang Yakub berusaha dengan daya manusia membangun menara Babel untuk mencapai sorga, namun di sini Allah menyatakan kepada Yakub bahwa Dia-lah yang membangun tangga di atas bumi mencapai sorga.

Bukan usaha manusia, semata-mata anugerah dan karya Allah. Yakub berusaha merebut “berkat Allah” dengan usahanya sendiri, tetapi Allah dengan sabar dan menyibakkan tiap detil, bahwa berkat Allah tidak diperoleh oleh usaha manusia, tetapi diberikan karena anugerah. Bagian kita hanya untuk percaya dan menerima.

Di sampingnya,  Yakub melihat Allah yang berfirman kepadanya,” Akulah TUHAN, Allah Abraham, nenekmu, dan Allah Ishak; tanah tempat engkau berbaring ini akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu. Keturunanmu akan menjadi seperti debu tanah banyaknya, dan engkau akan mengembang ke sebelah timur, barat, utara dan selatan, dan olehmu serta keturunanmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat. Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, ke manapun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negeri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu.”

Apakah janji pemeliharaan ini untuk kita juga yang sedang menghadapi ketidakpastian?

Jawabannya, “Ya, ya dan ya!!”.  Penulis surat Ibrani, mengutip janji ini bagi kita, “Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau”

Bagi Yakub, penyataan ini adalah sesuatu yang  sangat besar. Sepanjang hidupnya dia selalu merasakan hidup sebagai “orang yang tak terpilih”, karena Ishak jelas-jelas hendak memilih Esau daripada Yakub. Di lubuk hatinya, dia masih merasa bersalah, dengan kelicikannya dia mengakali abangnya untuk merebut hak kesulungan dan menipu ayahnya sendiri untuk mencuri berkat kesulungan. Bagaimana mungkin Allah berkenan kepadanya?

Namun Allah dengan jelas berfirman kepadanya, semua berkat yang Allah berikan adalah tanpa syarat. Semua karena anugerah, oleh karena perjanjian Allah dengan Abraham.  Perjanjian itu juga sama karena dasar anugerah, Allah menghormati perjanjian itu karena satu hal yang Abraham lakukan, yaitu karena Abraham percaya. Hanya percaya. Dan Allah memperhitungkan itu sebagai kebenaran.  Demikian juga bagi kita, Allah menghormati perjanjian dengan kita yang digenapi pengorbanan Kristus.

Memang terkadang mudah untuk percaya bahwa Allah memberkati kita,  kalau kita merasa sudah melakukan  sesuatu untukNya. Kalau kita sudah memberikan banyak persembahan, kalau kita sudah mengorbankan sesuatu, rasanya “sreg” kalau kita menerima sesuatu dari Allah. Naluri kita kayaknya turun temurun dari dulu, ketika manusia berusaha mengorbankan sesuatu untuk memperoleh sesuatu dari Allah.  Malahan kadang lebih sulit untuk mempercayai kebaikan Allah yang tidak bersyarat dan sedikitpun tidak bergantung pada kebaikan kita.

Wajar. Karena manusia didesain untuk memiliki rasa keadilan, seperti halnya sifat Allah yang adil. Masalahnya, di dalam hukum Allah, dosa sedikit atau banyak, sama-sama membawa maut. Orang baik sekali, dan baik sedikit, tetap tidak bisa memenuhi standar kebaikan Allah. Jalan satu-satunya agar adil, adalah bahwa ada sesuatu yang harus dikorbankan. Korban itu adalah Kristus, dengan demikian kita berharap sepenuhnya pada berkat dan kebaikan Allah, yang sedikitpun tidak bergantung pada kesalehan dan pengorbanan kita.

Sepanjang hidup Yakub, Allah berusaha mengajarnya dengan sabar dan telaten bahwa Allah memberkatinya, menjaganya, memeliharanya, memilihnya, semata-mata hanya karena anugerah. Sama buat kita juga, Allah terus menerus dengan sabar mengajar kita bahwa Dia baik, sungguh baik, amat baik dan tanpa syarat.

Sending
User Review
3.5 (2 votes)

Add Comment

Klik sini untuk komentar