Oleh: Henry SL
Satu hari, saya dan keluarga menikmati ‘family time’ dengan bersepeda bersama, ke daerah rawa dekat rumah. Di depan, saya dan anak bungsu saya memimpin dan di belakang istri dan anak sulung saya mengikuti. Beberapa kelokan, tanpa disadari, kami mengayuh terlalu cepat dan istri saya tertinggal, saya pun berhenti di perempatan, kuatir nanti mereka salah jalan.“Ayo, tolong teriak panggil mamamu, biar dia tahu kita ada di sini,’ pinta saya pada anak bungsu saya.
“Mamaaaaaaa !” Suaranya yang keras dan cempreng menggema di padang rumput.
“Haaa…. Ada banyak ibu-ibu di sini loh, bagaimana mama bisa tahu itu kamu yang manggil? Kenapa ngga panggil nama Mama aja?” goda saya.
“Ha Ha Ha… ngga mungkin lah, Mama kan kenal suaraku,” dengan tangkas dia menjawab.
Saya jadi teringat akan ayat di atas. Seringkali kita terhanyut oleh perasaan kita, dan kita berpikir-pikir, apakah Tuhan mendengar kita? Apakah Tuhan mengenal kita? Pemikiran kita pun seringkali tercampur aduk dengan keterbatasan manusia. Manusia punya keterbatasan memori. Kalau kita hari ini berkenalan dengan satu orang, pasti kita ingat namanya. Sepuluh orang, masih bisa. Seratus, seribu, sepuluh ribu? Tentu kita lupa, kan? Jadi di bawah sadar, seringkali kita pun kuatir, jangan-jangan Tuhan tidak mengenal saya, satu di antara sekian milyar.
Kita adalah domba-domba TUHAN. Dengan jelas ayat di atas itu meneguhkan kita, bahwa Dia sungguh-sungguh mengenal kita. Bahkan setiap helai rambut kita pun, Dia hitung! Kita dapat datang dengan penuh percaya kepadaNya, karena Dia mengena kita, Dia mengenal suara kita.
Add Comment