oleh: George Sicillia (dimuat seijin penulis)
Gereja saya sedang menyiapkan pelayanan ke beberapa wilayah, karena apalah artinya anugerah bila kita tidak berbagi. Bicara berbagi, tidak selamanya tentang uang dan materi, walau tak bisa disangkal bahwa semua itu perlu. Bicara berbagi adalah juga tentang berbagi beban, mimpi dan harapan. Sumba akan menjadi tempat berbagi kami yang pertama. Sebuah tema pun tertoreh, ‘Merajut tenun kabar baik yang membentangi Sumba’. Tapi Sang Perajut Tenun atau Sang Penenun bukanlah kami, terlalu lancang jika memposisikan diri di situ, Sang Penenun adalah Allah sendiri. Dan tiap-tiap kami tak lebih dari benang-benang yang harus bersedia berproses sedemikian rupa agar dapat digunakan-Nya untuk menghasilkan tenun kabar baik itu. Boleh jadi kami yang merencanakan, tapi justru kawan-kawan dari Sumba yang terlebih dahulu berbagi kepada kami tentang penghayatan filosofis, atau bahkan teologis, tentang tenun. Sesuatu yang disampaikan dari hati mereka dan menyentuh hati kami, dan mungkin pula menyentuh hati siapa saja ketika kami menarasikannya kembali.
Allah Sang Penenun
Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku (Mazmur 139:13)
Mazmur di atas hendak menyatakan bahwa kita, manusia, adalah tenunan Allah. Allah ‘menenun’ manusia dan alam semesta. Walaupun banyak kitab kerap ditulis dalam konteks budaya yang patriarkis, menarik menemukan bahwa pilihan kata yang digunakan untuk menggambarkan karya agung Allah adalah ‘menenun.’ Di Sumba, pekerjaan menenun adalah pekerjaan yang identik dengan perempuan. Menenun bukan sekadar aktivitas biasa, di dalamnya ada kesabaran, ada ketekunan, ada pengorbanan, dan ada doa. Keindahan tenun yang kita dinikmati, adalah buah dari itu semua. Seorang penenun harus siap duduk lama dalam posisi tegak. Tenun-tenun berkualitas baik kadang butuh waktu berbulan-bulan sebelum jadi. Penenun harus bisa menahan rasa sakit di punggungnya dan harus cukup kuat dan tekun untuk menghentak alat tenun sehingga benang-benangnya rapat menyatu. Dan jangan pernah bermimpi memiliki jemari yang halus tanpa goresan. Menenun butuh kesiapan mental dan fisik. Bukan karya instan yang siap cetak ulang, tapi setiap lembarnya adalah mahakarya sang penenun. Dan relasi antara Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya adalah relasi antara Sang Penenun dan tenunannya sehingga tiap kita boleh bersyukur menjadi mahakarya Allah.
Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dasyat dan ajaib, ajaib apa yang Kau buat dan jiwaku benar-benar menyadarinya (Mazmur 139:14)
Spiritualitas Para Penenun
Seperti yang telah disebutkan, pekerjaan menenun cenderung didominasi kaum perempuan. Ketika para perempuan duduk menenun, mereka akan menghentakkan alat tenunnya menurut arah vertikal dan horisontal untuk memadukan benang ataupun menghasilkan motif. Bagi mereka, relasi vertikal dan horisontal itu sangat penting karena di dalamnya juga tercermin relasi yang harmonis dengan Tuhan, dengan alam dan dengan sesama. Hal ini tergambar pula dalam salah satu bentuk dasar tenun Sumba yaitu segitiga. “Jika ada rasa bersalah, takut, marah, maka Mama Mama tidak bisa menenun dengan baik. Suasana batin yang tenang itu perlu karena Mama Mama harus teliti, sabar, tekun, konsentrasi serta mau berkorban. Kalau tidak sabar, tenun tidak akan jadi,” demikian dikisahkan pada kami.Proses menenun adalah doa dan pengalaman keindahan. Salah satu bentuk pengalaman keindahan adalah pengorbanan itu sendiri. Seperti pengorbanan Kristus. Pengalaman keindahan itulah yang memancarkan energi positif sehingga siapa pun yang melihat akan kagum dan turut mengalami keindahan. Menenun kerap dikerjakan dalam hening, bagian dari proses menuangkan diri. Bagi beberapa perempuan, menenun pun menjadi bagian dari proses relief. Ada kepuasan yang mengalir dalam dirinya ketika tenun itu jadi, apalagi ketika itu diperuntukkan bagi orang-orang terkasih. Tubuh yang trauma pun menjadi yang memulihkan. Membuat saya membayangkan hari-hari penciptaan, ketika Allah memandang semuanya sungguh amat baik, dan jadilah petang, jadilah pagi.Kelahiran, kehidupan, hingga kematian orang-orang Sumba selalu berkaitan dengan tenun. Konon, tenunan bagi orang Sumba adalah pemberian paling sepadan bagi yang mereka kasihi. Tenunan bagi orang Sumba adalah jembatan untuk memulihkan hubungan yang retak antarsaudara, tenunan bagi orang Sumba adalah ekspresi rasa syukur dan terima kasih bagi orang-orang yang dianggap penting, tenunan bagi orang Sumba adalah juga penguat persaudaraan.
Menjadi Benang yang Siap Ditenun
“Jangan ke Sumba kalau tidak siap ke Sumba,” demikian dikatakan pada kami. Jangan berpikir untuk jadi bahan baku Allah menenun kabar baik di sana bila tak mau berproses seperti benang. Dari kapas yang dikoyak dan dipintal dalam proses yang tidak sekali jadi, dicelupkan dalam berbagai pewarna alami berulang-ulang sampai Sang Penenun mendapatkan warna yang Ia inginkan, kemudian bersedia menjadi lentur untuk kemudian direntang dan dihentak dengan keras, ditautkan dengan benang-benang yang lain tanpa kehendak memilih, terus dan terus dihentak, ditautkan dan dieratkan sedemikian rupa sampai Sang Penenun merasa cukup. Allah tidak pernah keliru menenun setiap kita. Setiap kita adalah wujud keindahan dan kemanapun kita pergi, energi keindahan itu harus selalu terpancar. Bagaimana pun, tenunan bukan kerja mekanis tetapi karya seni yang merefleksikan dan memancarkan keindahan Ilahi. Namun, ketika ada keinginan untuk turut serta dalam karya Allah menenun kabar baik bagi Sumba maupun tempat-tempat lainnya, sanggupkan tiap kita menjadi benang-Nya yang siap ditenun? Agnus Dei, qui tollis peccata mundi, misere nobis.
Add Comment