Saya teringat akan kisah seorang tokoh. Namanya Frank van Gessel, mungkin tidak banyak dari kita yang pernah mendengar nama itu, padahal peninggalannya sangat besar di dunia Kekristenan di Indonesia.
Van Gessel adalah seorang karyawan di Perusahaan Minyak Belanda Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) di Cepu, namun sejarah juga mencatat bahwa dia adalah pendiri dari Gereja Pantekosta di Indonesia, Gereja Bethel Injil Sepenuh, dan beberapa gereja lainnya. Boleh dibilang van Gessel adalah Bapak Gerakan Pantekosta di Indonesia. Salah satu anak murid van Gessel adalah Ho Lukas Senduk, pendiri Sinode Gereja Bethel Indonesia, yang dimenangkannya saat pemuda Senduk bekerja di perusahaan minyak itu dan menerima Tuhan Yesus pada usia 18 tahun.
Suatu saat ketika van Gessel membaca Yohanes 1:14 “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita..” Dia membaca kata “diam” itu sebagai “Tabernakel“. Tabernakel adalah Bait Allah, orang Israel tahu benar artinya, bahwa ini berarti Allah mereka berdiam di tengah mereka, secara pribadi. Dan ini yang membedakan mereka dengan bangsa-bangsa lain pada jaman itu yang menyembah segala macam berhala dalam bentuk patung-patung mereka.
Apa sih artinya Tabernakel itu bagi kita? Kita bisa melihat bahwa kata ‘diam’ itu sebagai Tabernakel, sebagai perjumpaan pribadi dengan Yesus, penyertaanNya, persahabatanNya dan kehadiranNya yang nyata di setiap detik kehidupan kita. Ada sesuatu, dan bukan sekedar pengetahuan dan fakta. Satu hal yang mendasar, mengapa kamu bisa yakin bahwa Allah berkenan diam di dalam dirimu? Apakah karena kebaikan kita, karena kita kasih persembahan di gereja, karena kita telah melakukan sesuatu, karena kita saleh? Jika kita tergoda untuk berpikir demikian, bagaimana kalau besok Anda tiba-tiba emosi dan marah-marah, bagaimana kalau besok Anda berbohong. Apakah lalu Anda tidak yakin lagi bahwa Allah berdiam di dalam dirimu?
Ada satu momen yang sangat teramat penting dalam sejarah soal Tabernakel ini. Saat itu adalah kematian Yesus di kayu salib dan tabir Bait Allah ke ruang Maha Suci dirobek dua. Allah merobeknya, karena dengan kematian Kristus kita dilayakkan untuk masuk ke dalam Tabernakel itu, bahkan lebih daripada itu Allah ber-Tabernakel di dalam kita.
Karena kita baik? Karena kita taat? Jauh sekali. Hanya karena satu hal. Karena Yesus mati bagi kita.
Tuhan mati di kayu salib agar kita bisa bersekutu denganNya, dan Allah memberikan tanda dan peneguhan yang pasti ketika Dia merobek tabir bait Allah itu. Kalau kita layak masuk ke dalam Tabernakel itu, itu semata-mata karena anugerahNya. Sesungguhnya kita tidak layak, tetapi Allah membayar mahal dengan darah AnakNya agar kita layak. Semua dosa kita, di masa lalu, masa kini, dan masa depan sudah dibasuh oleh darah Yesus yang kudus. Kita sepenuhnya diampuni saat menerima Yesus sebagai Juru selamat. Kita tidak lagi dianggap bertanggung jawab
atas hukuman dosa-dosa kita. Mengapa? Karena Yesus sudah membayar harga hukuman itu! Dosa kita yang kapan? Semua dosa kita, yang di masa lalu, sekarang bahkan yang di masa depan. Alkitab berkata, “Tetapi sekarang Ia hanya satu kali saja menyatakan diri-Nya, pada zaman akhir untuk menghapuskan dosa oleh korban-Nya (Ibr 9:26b), lalu ayat 29: “…demikian pula Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia.” Masakan Kristus harus disalibkan berkali-kali dan datang ke bumi jutaan kali? Apakah kita pikir darahNya sedemikian murah hingga tidak cukup untuk membayar harga penghukuman dosa di segala zaman dan segala tempat?
Memang seringkali kita merasa sungkan untuk berpikir, sesuatu yang kayanya “too good to be true“. Kita orang timur kan 🙂 Rasanya ada yang ngga bener kalau kita menerima sesuatu dengan gratis, dan kalau ngga ada udang di balik batu.
Jadi seringkali kita mesti menambahi sendiri. Seringkali kita berpikir, ah mungkin kalau saya terus menerus mengoreksi diri saya, tambah hari tambah baik, tidak berdosa ini itu lagi, maka saya layak masuk Tabernakel itu. Mungkin kita berpikir, pantesnya Tuhan mengampuni dosa saya yang lalu, tapi sesudah saya ke gereja, ya…saya mesti tahu diri, kalau ngga hidup suci, mana Tuhan berdiam di dalam saya?
Mungkin cara berpikir ini seperti baik sepintas, seperti mulia. Tetapi pikirkanlah, bukankah cara ini malah lebih menghina darah Kristus yang mahal, dan menganggap darahNya tidak cukup bagi kita? Saudara saja, misalkan kalau pergi belanja ke suatu shopping mall, terus waktu mau bayar, keluarin kartu kredit. Kasirnya terus bilang, “Maaf Pak, kartu kredit Bapak ngga laku, saya liat tampang Bapak kaya orang ngga mampu, jadi saya ngga percaya kartu kreditnya cukup…. silakan belanja di tempat lain, Pak…” Kita aja kalau digituin, tersinggung kali :). Mungkin kita pikir kita mulia nih, kalau bisa bilang, saya mau bertanggung jawab atas dosa-dosa saya sendiri. Namun tidak lain adalah kesombongan dan rasa benar sendiri, yang berarti tidak membutuhkan Tuhan.
Kalau memang dengan kita bisa berbuat baik, dan terus menerus mengoreksi diri dan memperbaiki diri, lalu kita bisa jadi layak di hadapan Tuhan, bukankah itu malah menunjukkan kesombongan yang luar biasa? Dengan demikian kita bilang, sebetulnya, Tuhan….saya bisa loh sendiri tanpa Tuhan mesti mati segala…
Kalau Saudara punya dua anak. Yang satu taat karena takut diusir dari rumah (tidak bisa berdiam lagi dengan orang tuanya) dan yang satu lagi taat karena dia sayang pada Saudara, mana yang lebih menyenangkan hatimu?
Renungkanlah. Tuhan pernah bilang, kamu saja yang jahat kira-kira bisa tahu lah, untuk memberikan yang baik buat anakmu. Biarlah Dia berdiam, ber-Tabernakel di dalam kita, di dalam kehidupan kita. Biarlah kita tersungkur dan terpesona di hadapanNya.
Add Comment