Oleh : Elia Jusack
Pertanyaan ini muncul saat saya sharing dengan beberapa teman yang bertanya akan aktivitas yang akhir-akhir ini sering saya lakukan. Saya berkesempatan keliling di berbagai pelosok daerah di Indonesia untuk bertemu dan memfasilitasi anak-anak muda. Kesempatan ini diberikan oleh sebuah lembaga kemanusiaan yang selama ini membantu mereka untuk meningkatkan level kesejahteraan kehidupannya.
Mengapa perlu ditingkatkan? Hal pertama yang perlu dipahami adalah fokus dan tujuan dari lembaga kemanusiaan ini dimana mereka membidik masyarakat dari tingkat ekonomi yang rendah. Masyarakat ini tidak saja dianggap secara struktur sosial dibawah garis sejahtera, terpuruk tetapi juga banyak yang dalam kondisi poor of the poorest, miskin dalam berbagai aspek kehidupan. Keterpurukan mereka begitu mengenaskan dan hampir tanpa harapan. Masyarakat yang demikian biasa disebut kaum marginal yang tersingkir dari kompetisi hidup dan terjebak dalam keterbatasan.
Kembali pada pertanyaan awal, “Apa kamu ngga’ capek?”
Capek.
Berhadapan dengan orang-orang marginal tidaklah mudah. Mereka telah terlanjur terjebak dalam keterbatasan. Mereka tidak memiliki bahkan kesempatan untuk keluar dari ruang kehidupan yang selama ini dijalani. Sudah syukur mereka dapat survive. Tapi untuk lebih dari itu, bermimpi pun mereka tidak berani. Takut kualat, atau dibilang terlalu berkhayal. Mereka sadar kenyataan dan terpuruk tanpa daya. Nurani mereka berontak hingga titik dimana tidak ada lagi daya untuk berjuang. Tidak saja kalah, tetapi sudah menyerah. Sementara orang-orang ramai berbicara kapan kita akan ke bulan. Kaum ini masih saja dalam angan-angan sambil melihat bulan.
Bagian terberat dan sulit buat lembaga kemanusiaan dan kami adalah bagaimana mempengaruhi dan menyadarkan mentalitas mereka. Bagaimana mereka melihat diri mereka, potensi, dan percaya bahwa Pencipta mereka berpihak pada mereka. Letih bertempur dengan mental yang sudah terlanjur jatuh, pasrah tergeletak.
Kutuk? Iyah. Seakan-akan mereka telah hidup dalam kutuk dan bahkan mengutuk diri mereka sendiri. Jika bukan mereka, bisa jadi kita juga terlibat dalam kutuk ini. Kita membuang mereka dan menyingkirkan mereka dalam kompetisi hidup, bahkan tanpa memberi kesempatan.
Apa tidak capek?
Bagi saya, jujur saya mengalami rasa letih, capek dan bahkan frustrasi berhadapan dan berinteraksi dengan mereka. Sering merasa gagal, banyak kali menyerah dan membiarkan saja, toh bukan urusan saya sebenarnya. Terlebih saya mungkin belum terlalu banyak berhasil membawa teman-teman di berbagai pelosok ini mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik bahkan untuk sekedar keluar dari lingkungan terpuruk mereka. Sekalipun keberhasilan bukanlah ukuran mutlak dari kegiatan yang saya kerjakan, tetapi saya sadar akan adanya beban moral seketika saat bersentuhan dengan kehidupan mereka.
Sering saya berdalih dengan berbagai pertanyaan : ini hanya sekedar profesi atau sebuah tantangan? Atau alasan rohani bahwa apa yang saya lakukan adalah wujud ucapan syukur yang melimpah dariNya? Apa cukup dengan sekedar bisa menginspirasi mereka dengan banyak kata, informasi dan wacana?
Sampai satu waktu saya menyadari bahwa presenting is really different with in present. Saya harus sebisa mungkin hadir buat mereka. Hadir bahkan disaat mereka tidak memiliki harapan.
Jika saya adalah gereja, apakah saya hadir untuk mereka? Saya tidak ingin berargumen soal ayat dan pemahaman. Saya mungkin hanya sekedar bertanya. Selama dan sejauh pengalaman saya yang terbatas ini, saya terlalu jarang menemukan gereja yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Gedungnya mungkin ada, namun kehadirannya terasa asing bahkan di lingkungan gereja itu berada.
Gereja yang adalah garam tidak pernah larut di masyarakat.
Gereja yang adalah terang, telah pudar dan hilang cahayanya di tengah gemuruh kesibukan gereja untuk dirinya sendiri.
Capek?
Ya, terlalu capek saya jika berhadapan dengan diri saya sendiri. Terlalu memaksakan diri bahkan demi mengerjakan yang hampir mustahil tercapai. Jika saya berteriak, mungkin saya hanya menjeritkan sebuah kebutuhan intervensi ilahi dari kehadiran nyata gerejaNya di muka bumi. Bukan di gedung gereja, seminar atau ratusan acara gebyar yang tidak kemana-mana selain untuk diri sendiri. Betapa egoisnya saya sebagai gereja.
Setidaknya tulisan saya ini bisa melepaskan lelah saya. saya bisa berkhayal tentang apa saja yang membuat lelah saya sirna. Berkhayal bahwa satu waktu gereja benar-benar sadar akan fungsinya. Karena saya terlalu percaya, gereja adalah jawaban bagi keterpurukan. Gereja pasti hadir disaat yang tepat bagi dunia yang terhilang.
Add Comment