Oleh: AAS
10:2 Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?”
10:3 Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?”
10:4 Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.”
10:5 Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu.
10:6 Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,
10:7 sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
10:8 sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.
10:9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
10:10 Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu.
10:11 Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu.
10:12 Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.”
10:13 Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu.
10:14 Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.
10:15 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.”
10:16 Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka.
*A. Konteks*
Dalam pembagian perikop LAI, Markus 10:2-16 dibagi menjadi dua perikop:
– Markus 10:1-12 “Perceraian”
– Markus 10:13-16 “Yesus memberkati anak-anak”
Kedua perikop itu berada sesudah “pemberitahuan kedua tentang penderitaan Yesus” (9:30-32) sehingga dapat dikategorikan ke dalam “ajaran tentang kemuridan” sebagaimana pola yang biasa dipakai Markus.
Perikop tentang “perceraian” tampaknya berdiri sendiri tanpa “kata-pengait”–teknik yang biasa dipakai untuk mengumpulkan sejumlah ucapan atau ajaran ke dalam satu rangkaian ucapan.
Sedangkan, perikop tentang “Yesus memberkati anak-anak” tampaknya dikaitkan dengan perikop berikutnya, “Orang kaya sukar masuk Kerajaan Allah”, berdasarkan kata-pengait “Kerajaan Allah”.
Dari aspek plot atau alur cerita, perjalanan Yesus menuju Yerusalem makin diperjelas sekalipun masih agak disamarkan.
10:1 Dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan dan di situ pun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka pula.
Keterangan “dari situ” itu merujuk ke setting tempat sebelumnya: sebuah rumah di Kapernaum (9:33).
Jadi, dari Kapernaum itu Yesus menuju Yudea, tepatnya menuju Yerusalem di Yudea (10:17, 32).
Sedangkan kata “anastas” (Yun.) yang diterjemahkan “berangkat” oleh LAI bisa juga diterjemahkan “berdiri” seperti yang diterjemahkan NKJV.
(NKJV) Then He arose from there and came to the region of Judea by the other side of the Jordan.
Lho kok “berdiri”?
Iya, karena posisi Yesus sebelumnya adalah duduk (9:35).
Ayat 1 di atas tidak dijadikan bahan khotbah RCL karena bacaan langsung dimulai di ayat 2.
Sy sarankan ayat 1 itu tetap dibacakan agar jemaat terbantu untuk membayangkan alur cerita Injil Markus.
*B. Tafsiran Markus 10:1-12*
*B.1. Larangan perceraian versi Markus*
Markus 10:1-12 ini diberi judul perikop “Perceraian”.
Isinya mungkin sudah tidak asing bagi jemaat masa kini karena sering dibahas atau dikutip dalam khotbah Pemberkatan Nikah.
Misalnya, Markus 10:9: “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
Namun, untuk konteks zaman para penulis Injil, ajaran tokoh Yesus di perikop ini tampaknya sangat kontroversial.
Pertama, ajaran tokoh Yesus itu bertentangan dengan hukum Taurat,
padahal hukum Taurat itu dihayati orang Yahudi sebagai hukum yang berasal dari Allah, bukan sekadar dari Musa (karena Musa hanyalah perantara).
Markus 10:4 itu tampaknya adalah ringkasan dari Ulangan 24:1-4.
Markus 10:4
10:4 Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya [istri] dengan membuat surat cerai.”
Ulangan 24:1-4
24:1 “Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya,
24:2 dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain,
24:3 dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati,
24:4 maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu.
Jadi, pertanyaannya: mengapa tokoh Yesus membuat larangan perceraian yang bertentangan dengan hukum Taurat?
Di dunia cerita Injil Markus, tokoh Yesus memang banyak mengajukan tuntutan radikal kepada murid-murid-Nya.
Minggu lalu, misalnya, kita baca di Markus 9:42-50 tokoh Yesus menuntut agar orang yang menyesatkan anak-anak kecil (TB1) atau menyebabkan anak-anak kecil berdosa (TB2) lebih baik orang itu ditenggelamkan ke laut.
Tangan, kaki, serta mata yang menyesatkan atau menyebabkan orang berbuat dosa juga sebaiknya dipenggal dan dicungkil.
Minggu depan, kita akan baca di Markus 10:17-31 tokoh Yesus mengajukan tuntutan radikal untuk melepaskan semua harta benda dan meninggalkan rumah, ladang, ayah-ibu, semua saudara, bahkan kalau sudah punya anak, meninggalkan anak-anak itu juga.
Jadi, kalau di Markus 10:1-12 ini tokoh Yesus mengajukan larangan perceraian yang radikal, hal itu sebenarnya bukan hal yang mengejutkan.
Mungkin itu juga sebabnya mengapa Markus mengatakan bahwa orang yang mau mengikut Yesus itu harus menyangkal diri dan memikul salib (8:34).
Gambaran “mengikut Yesus” itu adalah murid berjalan di belakang Yesus sambil memikul salibnya masing-masing.
Gambaran “mengikut Yesus” bukan murid berjalan melenggang seperti bos di belakang budaknya yang bernama Yesus, yang berjalan terjatuh-jatuh karena beban berat dari bosnya.
Menurut teologi Markus, salib Yesus tidak membebaskan kita dari salib kita masing-masing.
Nah, itu dari dunia cerita Injil Markus.
Sedangkan, dari dunia nyata di luar dunia cerita, ada dugaan bahwa pada zaman Yesus dan penulis Injil, hukum Taurat yang memberi izin perceraian itu telah disalahgunakan untuk menceraikan istri dengan sewenang-wenang, semau gue.
Jadi, larangan perceraian itu bertujuan untuk melindungi pihak yang lemah, dhi. istri.
Perlidungan terhadap pihak yang lemah itu sejalan dengan perlidungan terhadap “anak-anak kecil” di dunia cerita Markus (9:42).
Bagaimana dengan perlidungan untuk suami?
Untuk konteks jemaat Markus yang berbudaya Yunani Romawi, rupanya suami pun perlu dilindungi dari kesewenang-wenangan istrinya (10:42).
10:12 Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.”
Namun, untuk konteks jemaat berlatar belakang Yahudi, suami tidak perlu dilindungi karena posisi istri sangat lemah.
Istri tampaknya tidak punya hak untuk menceraikan suaminya karena pada hakekatnya istri itu “barang milik suami” (properti) sebagaimana tersirat dari Keluaran 20:17.
20:17 Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu.”
Perhatikan juga bahwa semua hukum yang diucapkan Musa kepada bangsa Israel hanya ditujukan kepada laki-laki.
Nah, konteks sosial dan tujuan perlindungan terhadap kesewenang-wenangan suami/istri itu perlu diingat agar “senjata tidak makan tuan”.
Maksud sy, larangan perceraian itu jangan sampai dipakai pendeta untuk konteks apapun, termasuk untuk “melindungi” tindak kekerasan yang dilakukan suami/istri kepada pasangannya dengan prinsip: “Pokoknya kalian tidak boleh bercerai. Ini perintah Tuhan!”
*B.2. Strategi dan argumen teologis versi Markus*
Tampaknya strategi pertama yang digunakan Markus (atau jemaat sebelum Markus) adalah dengan mereduksi atau mengurangi tingkat kewibawaan hukum Taurat, yaitu dari berasal dari Allah diubah menjadi berasal dari Musa (Mrk. 10:3-5).
Strategi kedua Markus adalah dengan memaknakan hukum Taurat itu secara negatif, yaitu motivasi negatif dari pemberian izin cerai itu: Musa terpaksa memberikan izin cerai karena kekerasan hati bangsa Israel (10:5).
Akhirnya, untuk mendukung larangan perceraian, Markus membangun argumen teologisnya berdasarkan kisah Penciptaan.
Tampaknya ada dua sumber argumen teologis Markus.
Markus 10:6 merujuk ke Kejadian 1:27 dan Markus 10:7-8 merujuk ke Kejadian 2:24.
Jadi, Markus tampaknya ingin mengatakan bahwa perceraian itu tidak sesuai dengan tujuan Allah menciptakan laki-laki dan perempuan yang lalu menyatukan keduanya.
Markus lalu mencantumkan kesimpulan atau implikasi teologisnya di Markus 10:9.
10:9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
Sebagai catatan kritis, tentunya kita bisa mempertanyakan apakah kedua cerita Penciptaan itu memang ditulis untuk melarang perceraian atau apakah para penulisnya sudah berpikir tentang perceraian ketika ia menuliskan kedua cerita itu(?).
Menurut sy, para penulis kedua cerita Penciptaan itu tampaknya tidak berpikir sejauh itu.
Lalu, dari aspek metode penafsiran, apakah Kejadian 1:27 dan 2:24 itu boleh dilepaskan dari konteksnya masing-masing di pasal 1 dan 2(?).
Menurut sy, berhubung dua cerita Penciptaan itu adalah dua cerita yang berbeda, Kejadian 1:27 seharusnya tidak dilepaskan dari Kejadian 1, dan Kejadian 2:24 seharusnya tidak dilepaskan dari Kejadian 2.
Terakhir, kesimpulan Markus “apa yang telah dipersatukan Allah” itu darimana?
Menurut sy, itu kesimpulan tak berdasar atau “melompat” (jump to conclusion).
Kejadian 2:21-24
2:21 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging.
2:22 Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.
2:23 Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.”
2:24 Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
Cukup jelas di konteksnya, Allah hanya berperan sampai ayat 22.
Ayat 23-24 menceritakan peran aktif manusia atau laki-laki.
Peran aktif manusia atau laki-laki itu sedemikian ditekankan penulis di dunia ceritanya sampai-sampai hal itu tidak sesuai dengan dunia nyatanya, yaitu sesuai sistem patrilinial, istrilah yang meninggalkan orangtuanya untuk bergabung ke suaminya.
Jadi, darimana atau atas dasar apa Markus bisa menyimpulkan bahwa makna dari pernyataan “seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” itu artinya “apa yang telah dipersatukan Allah”?
Itu lebih tampak sebagai kesimpulan yang sudah dibuat sebelum argumennya dibuat.
Dengan kata lain, argumen Markus untuk mendukung larangan perceraian tampaknya kurang bagus.
*B.3. Larangan perceraian versi Matius*
Berhubung Matius juga memakai Injil Markus sebagai sumber tulisannya, tentunya menarik untuk melihat sekilas bagaimana sikap Matius terhadap Markus 10:1-12.
Matius tampaknya tidak setuju pada larangan perceraian yang terlalu keras di dalam versi Markus.
Ia lalu memasukkan unsur pengecualian (“kecuali karena zina”; 5:32; 19:9).
5:31 Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya.
5:32 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya *kecuali karena zinah*, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.
19:9 Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, *kecuali karena zinah*, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.”
Jadi, Matius pada dasarnya tidak setuju pada perceraian, tetapi ia tetap terbuka pada pengecualian tertentu, dhi. (kecuali) pihak istri berzina.
Tidak dijelaskan bagaimana jika pihak suami yang berzina.
Mungkin, menurut Matius yang berlatar belakang Yahudi, istri tidak punya hak untuk menuntut perceraian.
Padahal, sebagai pengguna Injil Markus, Matius tentunya juga membaca Markus 10:12.
10:11 Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu.
10:12 Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.”
Jadi, Matius tampaknya sengaja menghilangkan sama sekali kemungkinan istri untuk menceraikan suaminya.
*B.4. Larangan perceraian versi Lukas*
Berhubung Lukas memakai Injil Markus sebagai sumber tulisannya, tentunya menarik untuk melihat sekilas bagaimana sikap Lukas terhadap Markus 10:1-12.
Lukas sengaja tidak menggunakan bahan dari Markus 10:1-12.
Sy katakan “sengaja” karena delapan perikop berurutan sebelum Markus 10:1-12 dan empat perikop berurutan sesudah Markus 10:1-12 digunakan semuanya oleh Lukas.
Jadi, dari tiga belas perikop yang berurutan mulai dari Markus 8:27 sampai dengan Markus 10:34, hanya satu perikop yang tidak digunakan Lukas, yaitu perikop Markus 10:1-12, perikop tentang Perceraian.
Pertanyaannya: mengapa?
Jawaban logisnya: Lukas mungkin tidak suka atau tidak setuju dengan isinya.
Pertanyaan selanjutnya: mengapa Lukas tidak setuju?
Menurut sy, ada dua kemungkinan alasannya.
Pertama, Lukas tampaknya terbuka pada opsi perceraian (14:26; 18:29).
14:26 “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, *isterinya*, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.
18:29 Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Kerajaan Allah meninggalkan rumahnya, *isterinya* atau saudaranya, orang tuanya atau anak-anaknya,
18:30 akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini juga, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.”
Dalam kedua ucapan tokoh Yesus di atas, ada “istri” yang harus dibenci dan ditinggalkan demi mengikut Yesus atau Kerajaan Allah.
Hal yang perlu disadari pembaca adalah kata “istri” itu adalah tambahan khas Lukas.
Sebagai pembanding, Matius tidak menambahkannya (10:37; 19:29).
10:37 Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.
19:29 Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.
Tidak ada kata “istri” dalam kedua ucapan tokoh Yesus versi Matius.
Kedua, Lukas tampaknya hanya menentang perceraian yang dimotivasi oleh keinginan menikah lagi dengan perempuan lain (16:18).
16:18 Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.”
(NRSV) Anyone who divorces his wife and marries another commits adultery, and whoever marries a woman divorced from her husband commits adultery.
Jadi, Lukas tampaknya setuju pada perceraian yang dimotivasi oleh keinginan mengikut Yesus atau Kerajaan Allah, tetapi ia tidak setuju pada perceraian yang dimotivasi oleh keinginan untuk kawin lagi dengan perempuan lain.
*C. Tafsiran Markus 10:13-16*
Di perikop sebelum Markus 10:13-16 ini, Markus sudah menghadirkan “anak kecil” ketika para murid bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara mereka (9:33-37).
Selain menjadi metafora “yang terkecil”, anak kecil itu juga mewakili kehadiran Yesus sendiri (9:37).
Markus juga sudah memberi peringatan keras terhadap mereka yang menyesatkan “anak kecil” (TB1) atau yang menyebabkan “yang kecil di antara mereka yang percaya” itu berbuat dosa (TB2) (9:42).
Sekarang, dalam perikop Markus 10:13-16 ini, Markus kembali menghadirkan “anak-anak kecil”.
Kali ini “anak-anak kecil” dihadirkan dalam kaitannya dengan Kerajaan Allah.
Pertama, “anak-anak kecil” itu tampaknya dihadirkan sebagai wakil dari “orang-orang kecil” dan yang mengejutkan, mereka dinyatakan sebagai orang yang memiliki Kerajaan Allah (10:14).
10:13 Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu.
10:14 Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.
Kehadiran “orang-orang kecil” itu langsung ditolak para murid Yesus, tetapi Yesus justru memeluk dan memberkati mereka (10:16).
Siapa “orang-orang yang seperti itulah” yang dimaksudkan Markus 10:14?
Markus sendiri tampaknya tidak menjelaskannya.
Namun, jika kita bandingkan dengan perikop berikutnya, Markus 10:17-27, yang tampaknya sengaja ditempatkan Markus sesudah perikop Markus 10:13-16 ini, gambaran “anak kecil” itu tampaknya bisa dikontraskan dengan “orang kaya yang saleh karena sudah melakukan semua tuntutan hukum Taurat sejak masa mudanya”.
10:19 Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!”
10:20 Lalu kata orang itu kepada-Nya: “Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku.”
10:21 Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: “Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.”
10:22 Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya.
10:23 Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya di sekeliling-Nya dan berkata kepada mereka: “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
Jadi, pada saat orang kaya yang saleh itu sangat sukar masuk ke dalam Kerajaan Allah, “anak-anak kecil” atau “orang-orang yang seperti itu” malah dinyatakan sebagai orang yang memiliki Kerajaan Allah (10:14).
10:14 Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.
10:15 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.”
Pertanyaan berikutnya: apa maksud atau makna dari ungkapan “menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil”?
Menurut sy, jawabannya lagi-lagi ada di dalam perikop berikutnya itu.
Orang kaya yang saleh itu datang berlari-lari kepada Yesus lalu berlutut dan menanyakan apa syarat untuk memperoleh hidup kekal.
Ada kesan bahwa orang kaya itu sangat percaya diri bahwa ia pasti memperoleh hidup kekal atau pasti masuk ke dalam Kerajaan Allah.
Kepercayaan diri orang kaya itu wajar karena dalam keyakinan iman atau teologi orang Yahudi, kekayaan diyakini sebagai ganjaran dari Allah atas kesalehan atau ketaatan umat-Nya.
Dalam adegan selanjutnya, kepercayaan diri orang kaya yang saleh itu juga tampak ketika ia mengatakan bahwa semua tuntutan Taurat yang disebutkan Yesus sudah dilakukannya, bahkan sejak masa mudanya.
Jadi, ada kesan bahwa karena kekayaan dan kesalehannya, orang itu merasa berhak “mengklaim” kehidupan kekal atau Kerajaan Allah.
Namun, pada adegan berikutnya kepercayaan dirinya itu hancur, yaitu ketika Yesus menuntutnya untuk menjual semua hartanya untuk diberikan kepada orang miskin.
Pada akhirnya, orang kaya yang saleh itu gagal untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, padahal “anak-anak kecil” atau “orang-orang yang seperti itu” dinyatakan sebagai orang yang memiliki Kerajaan Allah.
Jadi, terbuka kemungkinan bahwa gambaran orang kaya yang saleh itu adalah pembanding atau kontras dari “anak-anak kecil” atau “orang-orang kecil” yang dihadirkan di perikop sebelumnya.
Jika benar demikian, kita mungkin bisa sedikit menduga beberapa hal mengenai “anak-anak kecil” itu.
Pertama, mereka mungkin orang miskin yang tidak percaya diri di hadapan Allah karena kemiskinan ekonominya.
Kedua, mereka mungkin orang yang merasa miskin di hadapan Allah karena mereka gagal dalam memenuhi sejumlah tuntutan hukum Taurat.
Ketiga, berhubung mereka tidak percaya diri dan merasa miskin di hadapan Allah, mereka hanya bisa mengharapkan anugerah atau belas kasihan Allah untuk kehidupan mereka di masa kini maupun di masa datang.
*D. Penutup*
Sekalipun khotbah tentang perkawinan dan perceraian itu mungkin sudah sering dikhotbahkan, sy berharap pengkhotbah tetap peka kepada mereka yang gagal atau sedang bermasalah dalam kehidupan perkawinannya.
Mengapa Markus tampaknya lebih keras dibanding Matius dan Lukas dalam melarang perceraian?
Mungkin konteks sosial jemaat Markus ikut mempengaruhi sikap Markus sebab bagaimanapun juga Markus tidak sedang menulis Injil untuk jemaat yang hidup di ruang steril tanpa pergumulan.
Para pengkhotbah yang memilih sikap keras dalam menolak perceraian tanpa pengecualian sama sekali atau tanpa peduli konteks Markus mungkin perlu merenungkan konsistensinya:
apakah sikap keras yang sama juga diberlakukan untuk tuntutan lainnya, misalnya: menenggelamkan orang yang menyebabkan anggota jemaat lainnya berdosa atau memenggal anggota tubuh (bahkan sekalipun kedua kata kerja itu diartikan sebagai kiasan), atau menuntut anggota jemaat yang kaya untuk menjual hartanya dan diberikan ke orang miskin (bukan ke gereja)?
Selain bahan khotbah tentang perkawinan (alih-alih tentang perceraian), Markus kembali menyediakan bahan tentang “anak-anak kecil” atau “orang-orang kecil” yang memiliki Kerajaan Allah.
Sy tidak tahu bagaimana menyatukan kedua topik itu, apalagi perikop tentang anak-anak kecil itu tampaknya lebih berhubungan erat dengan perikop berikutnya, perikop tentang orang kaya yang saleh.
Jika pengkhotbah sependapat dengan sy, sy sarankan perikop yang dikhotbahkan (pilih) satu saja.
Jkt, Oktober 2024
AAS
Add Comment