Ngopi

Ketika Doa Kita Tidak Dikabulkan

Ada dua orang yang sedang berdoa.  Yang satu, seorang pemuka agama, berdoa dengan confident yang pasti, berdiri tegak, menengadahkan kepala ke langit.  “Ya Allah, aku bersyukur, aku orang beriman dan saleh, aku bukan pembunuh, aku bukan kriminal, tidak suka main PSK, bukan pencuri dan tentunya bukan seperti koruptor yang duduk di belakang itu…”

Sementara seorang koruptor yang duduk di pojok belakang, dengan rasa terpukul dan tersudut, ia menundukkan kepalanya. Berlutut di kursinya, ia berbisik,”Ya Allah, kasihanilah aku, dosaku ini banyak….”

Kurang lebih seperti itulah cerita yang Tuhan Yesus kisahkan, tentunya cerita aseliya tentang doa orang Farisi dan pemungut cukai di Lukas 18:9-14. Di akhir cerita, ironisnya, si pendosa itu pulang dibenarkan, kata Yesus. Karena barangsiapa meninggikan diriya, akan direndahkan dan barangsiapa yang merendahkan dirinya akan ditinggikan.

Kisah di atas boleh jadi memiliki pelajaran dalam dua fase di perjalanan hidup kita. Yang pertama, untuk kita pertama-tama percaya, bertobat dan datang kepada Tuhan Yesus. Kalau kita merasa hidup kita sudah baik dan saleh, maka kita sama sekali tidak memerlukan pengorbanan Yesus. Bahwa kita menjadi “Kristen”dan “lahir baru”, pertama-tama karena kita tahu, kita orang berdosa, yang tidak dapat menyelamatkan diri kita sendiri, oleh karena itu kita memerlukan anugerah belas kasihan Allah untuk mengampuni dosa kita dan menerima pengorbanan-Nya di kayu salib.

Nah, sesudah kita diselamatkan, kita mengerti bahwa dosa kita yang merah seperti delima, sudah dicuci bersih oleh darah Kristus, sehingga kita menjadi putih seperti salju. Bukan karena kesalehan kita, sedikitpun bukan karena kebaikan kita, semata-mata oleh anugerah Allah saja. Tetapi kisah di atas tetap relevan buat kita, seperti halnya kisah perumpamaan Tuhan Yesus yang lain. Satu cerita pendek, banyak sisi.

Seorang guru sekolah minggu mengajarkan kisah perumpamaan tentang doa orang Farisi dan pemungut cukai di atas. Dengan berapi-api ia mengkritik tajam kelakuan orang Farisi yang  sombong itu. Di akhir cerita, ia memimpin doa, “Tuhan, terima kasih karena kami tidak berlaku seperti orang Farisi itu….. “

Mengingat anugerah Tuhan itu bukan hanya saat pertama kali kita percaya, tetapi terus menerus sepanjang hidup kita.  Ada satu sikap orang Farisi di atas yang boleh jadi terselip dalam hidup kita juga. Dalam rasa percaya dirinya, dia sudah menempatkan Tuhan menurut apa yang ia bayangkan dan yang ia mau. Ia tidak lagi memberi ruang di dalam hidupnya, supaya Allah bisa mengajar dan memperkenalkan diriNya lebih lagi. Kadang kita memiliki fantasi kita sendiri mengenai Allah, dan setelah sekian lama akhirnya kita menyadari bahwa fantasi kita mengenai Allah itu salah, kita menjadi kecewa. Ia menempatkan Allah di dalam kotak pemikirannya, dan dengan bangga ia berpikir mengenai hal itu.

Tentu saja, pengenalan akan Tuhan itu proses yang  tak akan berakhir. Di dunia ini, kita hanya melihat bayang-bayang di depan cermin, kelak di sorga, kita akan melihat dan mengenal Allah muka dengan muka. Kita akan memiliki pengetahuan, pengenalan dan iman yang sempurna akan Dia. Atau dengan kata lain, kita tidak lagi memerlukan iman dan hikmat di sana, karena semua sempurna adanya. Kalau hadirat Tuhan tidak lagi terselubung, tidak ada yang tidak bisa beriman. Namun, belum saatnya di dunia ini. Kita masih harus terus menerus belajar dan membuka diri kita, untuk Allah berbicara kepada kita, membawa kita lebih dekat dan memahami Dia dengan lebih tiap-tiap hari. Di dunia ini saja, iman itu hidup.

Contohnya dalam hal berdoa. Berdoa itu harus dengan  iman, bukan? Artinya kita percaya bahwa kita menerima apa yang kita minta. Banyak ayatnya mengenai hal tersebut. Namun bagaimana jika apa yang kita minta secara spesifik dan detil, tidak terjadi seperti yang kita mau atau bayangkan? Mengapa Allah tidak bertindak seperti yang kita bayangkan? Bukankah kita sudah mengimani dan percaya bahwa Dia akan bertindak seperti yang  kita bayangkan? Bahkan mungkin kita membenarkan diri kita dan berujar (dalam hati), bahwa permintaan kita baik adanya, bukan seperti permintaan si Anu atau si Inu, yang minta kayak gitu, kok malah dikasih Tuhan.

Mengapa?

Ah, kalau kita masuk ke gurun gersang seperti ini, inilah saatnya kita membuka ruang bagi Tuhan dan mengakui bahwa selalu ada misteri dalam hidup kita. Di dalam misteri, iman itu hidup. Di dalam ruang yang kita buka bagi Tuhan itu, kita mempersilakan Dia mengajar kita.

Mungkin Dia akan memberikan jawaban yang pasti.

Mungkin tidak ada jawaban yang langsung.

Namun, satu hal pasti, dalam proses pencarian jawaban ini pun, damai sejahtera Allah pasti menggelora bergemuruh tak habis-habis.

Paulus menulis di Surat Filipi 4, soal kekuatiran. “Jangan kuatir,”katanya. “Bersyukur saja dan ingat kebaikan Tuhan, dan curahkan saja, tumpahkan, keluarkan, ceritakan semua yang kamu ingini kepadaNya. Damai sejahtera Tuhan pasti melimpahi hidupmu.” Ia tidak menyimpulkan bahwa apa yang kita inginkan pasti akan terjadi persis seperti yang kita mau, tetapi ia menambahkan,”Kita pasti dapat menanggung segala perkara, kita pasti dapat melewati semua gurun gersang, kita pasti dapat bertahan di malam duka – oleh karena Kristus sendiri yang menguatkan kita” dan ia memastikan bahwa Allah tidak lalai,”Allahku ‘kan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan  kemuliaan-Nya di dalam Kristus Yesus”. Menurut caranya. Iman kita akan melihat bahwa cara-Nya Yesus lebih sempurna dari caranya kita.

Pada akhirnya, kembali ke anugerah. Kasih karunia Tuhan cukup bagi kita. Tuhan memberikan semuanya bagi kita, tidak ada yang Dia tahan-tahan atau sembunyikan.  Cukup artinya, karena tidak ada lagi yang bisa Tuhan tambahkan, semua sudah diberikan.

Dia baik. Selalu baik. Walau kita tidak selalu mengerti saat ini.

Sending
User Review
5 (1 vote)
Tags

Add Comment

Klik sini untuk komentar