Ngopi

Allah Menjadi Manusia

Kata Mark Twain, ada dua momen di dalam hidup kita yang penting. Yang pertama, adalah ketika kita dilahirkan dan yang kedua ketika kita mengetahui untuk apa kita hidup. Waktu remaja, yang saya baca dari Kho Ping Hoo, ada tiga saat; waktu kita dilahirkan, waktu kita menikah dan waktu kita mati. Kalau kita tidak tahu untuk apa kita hidup, maka seperti kebanyakan orang, kita akan mengikuti perjalanan cuma berdasarkan kalendar. Lahir, kawin, mati. Dan mungkin seperti itu juga kebanyakan kerumunan akan berpikir, lahir, belajar, masuk sekolah. Bekerja, mencari uang, berkeluarga, lalu mati dan dikuburkan.

Kiekergaard, filsuf Kristen, pada usia 21 tahun, berikhtiar bahwa ada satu hal yang seorang insan manusia sendiri harus menemukan, dia harus menemukan satu kebenaran yang dia percaya, suatu pemikiran yang dia akan hidupi dan bersedia mati untuknya. Bahkan Nietzsche yang ateis juga berkomentar, barangsiapa yang tahu untuk apa dia hidup, dia bisa menanggung hampir semua tantangan untuk mencapai tujuannya (he who has a why to live can bear almost any how).

Pada satu saat, di dalam hidup kita, akan ada pertanyaan itu, untuk apa kita hidup. Mengapa manusia ada di muka bumi ini? Untuk apa?

Di dalam Alkitab, hanya ada dua buku yang diawali dengan “Pada mulanya”, yang satu Kejadian, yang menceritakan bagaimana langit, bumi dan isinya, dan manusia pertama kali diciptakan. Buku itu dengan gamblang menjelaskan dan menekankan, bahwa kehidupan itu dimulai dari Allah, dan walaupuna Dia tidak dapat kita lihat dengan mata kepala kita saat ini, Dia memperlihatkan kemuliaanNya lewat ciptaanNya. Satu lagi adalah kitab Yohanes. Yohanes, murid yang melankolik, murid yang menulis tentang dirinya sendiri, sebagai murid yang dikasihi Yesus, memulai bukunya juga dengan kata “Pada mulanya….”

Tapi dia tidak sekedar bercerita tentang kejadian kosmos, untuk menjelaskan tentang keberadaan materi atau hukum alam. Yang dia jelaskan adalah kunci dan pusat untuk kita memahami untuk apa kita hidup dan hal apakah yang terpenting untuk kita pegang di dalam hidup kita.

Dia hendak menunjukkan bahwa untuk kita bisa memahami hidup kita, kita harus mulai dari satu titik. Titik permulaan itu adalah tentang suatu sosok, yang disebut Firman, bahasa aselinya adalah Logos. Kita tidak bisa membayangkan sosok Allah itu seperti apa, pemikiran dan indera kita mengandalkan apa yang kelihatan.

Tetapi Allah jauh melampaui itu. Allah yang misterius, atau dengan kata lain, sosok yang tidak akan dapat kita mengerti dengan kedangkalan kita. Yang kita tahu, bahwa ketika Dia berfirman, maka semesta diciptakan. Firman, atau kata-kata, atau sesuatu yang menjembatani antara pemikiran dan kejadian, itu selalu ada bersama-sama dengan Allah, dan Dia adalah Allah sendiri.

Pertanyaan ‘untuk apa kita hidup’ seringkali bukan sekedar untuk memuaskan rasa ingin tahu, tetapi juga karena dengan mata dan hati kita melihat dan merasakan bahwa dunia yang kita hidup ini, bukanlah tempat yang baik. Dan, kalau memang ada satu sosok ‘higher being’, di manakah Dia?

Itulah yang hendak Yohanes sampaikan, sosok “Firman” yang sejak dari awal bersatu dengan Allah, dan adalah Allah sendiri. Allah mencitptakan segala sesuatu dengan sosok Firman ini. Sosok Firman inilah yang memberikan hidup kepada semua ciptaaan, dan hidup ini adalah terang bagi dunia yang gelap ini.

Dunia yang gelap? Penderitaan, kejahatan, sakit penyakit, kesukaran, kemiskinan, kepedihan, kehilangan. Ya, tidak ada obat yang lain untuk kegelapan selain terang. Pernyataan akan kenyataan bahwa Allah menjadi manusia, Dia mengambil rupa dalam darah dan daging, menjawab semua pertanyaan:
– Apakah Allah itu ada?
– Apakah Allah perduli dengan ciptaanNya?
– Apakah ada harapan untuk dunia yang gelap?

Yohanes menekankan bahwa Allah yang menjadi manusia itu, penuh dengan anugerah dan cinta kasih. Bukan Allah pemarah, yang mencari kesempatan untuk menghakimi dunia yang korup ini. Sosok Allah yang misterius ini, yang tidak dapat dipahami oleh manusia ciptaanNya itu, dinyatakan oleh Allah yang menjadi manusia, dalam darah dan daging, Yesus Kristus, Isa Almasih.

Kedatangan Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia, bukan sekedar untuk meyampaikan siapa Allah itu lewat kata-kata atau penjelasan, lebih dari itu karena Dia datang untuk mati. Dunia yang gelap dan rusak karena dosa ini, hanya bisa diselamatkan dengan pengorbanan. Dengan darah dan nyawa. Harus ada yang menjadi tumbal, untuk membereskan semua itu. Tumbal itu disediakan oleh Allah sendiri, Yesus Kristus yang adalah Allah sendiri, Apa yang dilakukannya menyatakan kasih yang bukan sekedar diucapkan, tetapi dibuktikan.

Allah yang menjadi manusia dan tinggal bersama di antara kita itu juga membuka kesempatan untuk kita kembali menjadi anak-anak Allah dan memperoleh anugerah untuk mengalami Dia, untuk berjalan bersama-sama dengan Dia dalam hidup sehari-hari. Allah yang menjelma menjadi manusia itu, bukan hanya datang dahulu 2000 tahun yang lalu, tetapi saat ini juga untuk hidup di dalam kita, tiap-tiap hari, jika kita mau percaya.

Untuk apa kita hidup? Mengapa kita ada di sini? Allah menciptakan kita lewat Yesus Kristus, Dia selalu mengawasi kita, Dia telah merencanakan segalanya jauh sebelum kita diciptakan, untuk mencari cara agar Kristus menjadi tumbal, agar kita yang hidup dalam kegelapan dapat beroleh terang. Tidak ada cara yang lebih baik untuk menghidupi hidup kita, selain untuk berpaling kepada Dia yang memberikan hidup itu, percaya dan mengalami Dia dalam keseharian hidup kita. Mencicipi dan melihat, bahwa sungguh Allah itu baik, menghidupi hidup kita, dengan Kristus hidup di dalam hidup kita. Percaya akan kebaikan dan kesetiaan-Nya, mengarungi masalah, pertanyaan, pergumulan bahkan sekalipun di dalam lembah kematian. Allah yang menjadi darah dan daging, berdarah untuk kita, penuh dengan cinta kasih, sekira

Renungan Yohanes 1:1-14

Sending
User Review
5 (1 vote)

Add Comment

Klik sini untuk komentar