freshGrace

Bapamu Juga Bermimpi

Hidup itu penuh dengan kemalangan”, demikian keluar dengan pahit dari mulut seorang janda bernama Naomi. Bayangkan seorang janda, yang baru saja ditinggal oleh suami dan bahkan anak laki-lakinya. Sang janda yang malang ini hidup di tengah kelaparan yang melanda Israel dan harus mengungsi ke tanah asing, menjadi orang asing di tengah bangsa asing. Lalu, bukannya hidupnya bertambah baik di sana, bahkan suami dan kedua anak lelakinya pun meninggal di sana, meninggalkan dia dan kedua menantunya.

Bayangkan sesaat.

Seorang ibu tua, berjuang untuk hidup. Dengan mimpi dan keinginan sederhana. Lalu semuanya hilang begitu saja. Tak heran dengan pahit dia berkata, “Janganlah sebutkan aku Naomi; sebutkanlah aku Mara, sebab Yang Mahakuasa telah melakukan banyak yang pahit kepadaku. Dengan tangan yang penuh aku pergi, tetapi dengan tangan yang kosong TUHAN memulangkan aku. Mengapakah kamu menyebutkan aku Naomi, karena TUHAN telah naik saksi menentang aku dan Yang Mahakuasa telah mendatangkan malapetaka kepadaku.”

Dia menolak dipanggil Naomi – yang artinya kesenangan – dan meminta dipanggil Mara, yang artinya pahit.

Bagi Naomi, mimpi yang dia rindukan kelihatan sederhana. Dia ingin dengan tenang memangku cucunya di hari tuanya. Kelihatannya sebuah permintaan yang layak dan sederhana. Tapi semua itu sekarang menjadi tidak mungkin, kedua anak lelakinya mati tanpa meninggalkan keturunan!

Bukankah kita juga sering demikian? Hidup kita dipenuhi dengan mimpi dan harapan. Banyak yang sudah dikandung dari sejak kecil. Dan ketika sesuatu terjadi dalam hidup dan mengkandaskan impian kita, maka kita merasa hidup dan semangat kita pun menguap bersama kandasnya harapan itu. Seperti halnya Naomi, yang bersusah payah memelihara mimpi itu sampai merantau ke tanah Moab, mungkin kita juga sudah menghabiskan begitu banyak daya upaya, waktu, peluh, air mata, semuanya….untuk berusaha meraih mimpi itu, hanya untuk dihadapkan pada gunung kekecewaan dan jurang kegagalan. Dan melihat serpihan mimpi-mimpi kita yang pecah di dasar jurang.

Seperti halnya Naomi, yang bersusah payah memelihara mimpi itu sampai merantau ke tanah Moab, mungkin kita juga sudah menghabiskan begitu banyak daya upaya, waktu, peluh, air mata, semuanya….untuk berusaha meraih mimpi itu, hanya untuk dihadapkan pada gunung kekecewaan dan jurang kegagalan.

Sedikit kita ketahui bahwa Tuhan di atas sana juga merancangkan mimpi-Nya untuk kita dan menjadikan segala sesuatu baik pada waktunya. Tahukah engkau, bahwa Bapamu di atas sana juga telah dan sedang bermimpi bagi dan tentang engkau? Dia menenun mimpi itu dengan sabar, karena Dia melihat rancangan mimpinya seperti sebuah karya tenunan yang terbaik.

Kita tahu, cerita Naomi ini adalah kisah “happy-ending”, pada akhirnya Alkitab menulis, “Sebab itu perempuan-perempuan berkata kepada Naomi: “Terpujilah TUHAN, yang telah rela menolong engkau pada hari ini dengan seorang penebus. Termasyhurlah kiranya nama anak itu di Israel.Dan dialah yang akan menyegarkan jiwamu dan memelihara engkau pada waktu rambutmu telah putih; sebab menantumu yang mengasihi engkau telah melahirkannya, perempuan yang lebih berharga bagimu dari tujuh anak laki-laki.” Dan Naomi mengambil anak itu serta meletakkannya pada pangkuannya dan dialah yang mengasuhnya.Dan tetangga-tetangga perempuan memberi nama kepada anak itu, katanya: “Pada Naomi telah lahir seorang anak laki-laki”; lalu mereka menyebutkan namanya Obed. Dialah ayah Isai, ayah Daud.”

Pada awalnya Naomi melihat Allah yang kejam mengacungkan tanganNya dan menghancurkan hidupNya, akhirnya di hari tuanya Naomi memangku cucunya dengan gembira. Dan bukan hanya itu, dia melihat mimpi Allah yang indah buat dia juga terwujud, bahwa Allah bermimpi supaya Naomi dapat mengenal dengan baik siapa Dia.

Dan Allah yang bermimpi, juga mewujudkan mimpi-Nya bahwa cucu yang dipangku Naomi menjadi nenek moyang dari raja Daud dan Kristus. Mimpi ini, terlintas di pikiran Naomi pun, tak pernah.

Saudara, kita semua punya mimpi-mimpi. Banyak yang dikandung dari sejak kecil. Entah itu untuk diri sendiri, dari diri sendiri, atau mungkin untuk orang lain. Tapi ketahuilah Bapamu di atas sana, juga sedang bermimpi tentang engkau. Engkaulah puncak mimpi-Nya, sehingga Dia rela menyerahkan Anak-Nya yang tunggal demi engkau. Dia memimpikan yang terbaik bagimu.

Add Comment

Klik sini untuk komentar