Ngopi

Menurutmu, Siapakah Aku?

Oleh: Arie Saptaji

Dr. James Allah Francis merangkum kehidupan Yesus sebagai “satu kehidupan sunyi.”

Dia dilahirkan di desa yang tidak dikenal, anak perempuan udik. Dia menjadi besar di desa lain, tempat Dia bekerja di bengkel tukang kayu sampai Dia berusia 30 tahun. Kemudian selama tiga tahun Dia menjadi penginjil keliling. Dia tidak pernah menulis buku. Dia tidak pernah memegang jabatan. Dia tidak pernah berkeluarga atau mendirikan rumah tangga. Dia tidak pernah pergi ke perguruan tinggi. Dia tidak pernah mengunjungi kota besar. Dia tidak pernah melakukan perjalanan melebihi dua ratus mil dari tempat Dia dilahirkan. Dia tidak melakukan semua hal itu, hal-hal yang biasanya dikaitkan dengan kebesaran atau keagungan. Dia tidak dilengkapi dengan surat-surat kepercayaan atau piagam penghargaan, kecuali diri-Nya sendiri.

Dia baru berumur tiga puluh tiga tahun waktu arus pendapat umum berbalik menerpa-Nya. Teman-teman-Nya kabur meninggalkan-Nya. Salah satu dari mereka menyangkal-Nya. Dia diserahkan kepada musuh-musuh-Nya dan menjalani lelucon yang disebut peradilan. Dia dipaku ke kayu salib di antara dua pencuri.

Sementara Dia sekarat, para algojo berjudi memperebutkan pakaian-Nya, satu-satunya harta milik-Nya di dunia. Waktu Dia wafat, Dia dimakamkan di makam yang dipinjam melalui belas kasihan seorang teman. Dua puluh abad telah datang dan pergi, dan sekarang Dia merupakan tokoh sentral umat manusia.

Semua angkatan perang yang pernah berbaris, semua angkatan laut yang pernah berlayar, semua parlemen yang pernah duduk dalam rapat, semua raja yang pernah memerintah, jika disatukan, belum memengaruhi kehidupan umat manusia di bumi ini sebegitu rupa seperti satu kehidupan sunyi ini.

Seorang ahli sejarah, H.G. Wells, mengakui, “Lebih dari 1900 tahun kemudian, seorang ahli sejarah seperti saya, yang bahkan tidak mengakui dirinya Kristen, menemukan bahwa sejarah secara tidak terhindarkan berpusat pada kehidupan dan karakter Manusia paling penting ini…. Ujian seorang ahli sejarah bagi keagungan seseorang adalah, ‘Apakah yang ia tinggalkan yang bisa tumbuh?’ Apakah ia membuat orang-orang memikirkan sesuatu yang baru dengan semangat yang bertahan lama sesudahnya? Dengan ujian seperti ini, Yesus berada di urutan pertama.”

Anda bisa memperkirakan ukuran sebuah kapal yang sudah lewat dari pandangan dengan melihat seberapa besar ombak yang dibuatnya. Kehidupan Yesus, seperti digambarkan tadi, mungkin sebuah kehidupan yang sunyi. Namun, coba perhatikan:

Sokrates mengajar selama 40 tahun, Plato selama 50 tahun, Aristotels selama 40 tahun, dan Yesus hanya 3 tahun. Namun, pengaruh pelayanan 3 tahun Yesus itu jauh melampaui dampak gabungan 130 tahun pengajaran orang-orang yang dianggap filsuf terbesar abad kuno ini. Yesus tidak pernah membuat lukisan; namun, lukisan-lukisan terelok karya Raphael, Michaelangelo, Leonardo Da Vinci, diilhami oleh sosok-Nya. Yesus tidak pernah menulis puisi; namun sekian banyak penyair hebat dunia menulis puisi tentang Dia.

Yesus tidak pernah menggubah musik; namun musisi termashyur seperti Handel, Beethoven, Bach, dan sebagainya, melahirkan komposisi terindah mereka saat mereka menggubah pujian bagi Dia. Setiap bidang kehidupan manusia telah diperkaya oleh Tukang Kayu rendah hati dari Nazaret ini.

Di luar itu, sosok Yesus sendiri tak jarang begitu kabur. Anak-anak Sekolah Minggu mungkin mengingatnya sebagai Gembala baik hati yang memeluk domba dengan lemah lembut. Ada yang membayangkannya sebagai sosok yang begitu serius, sulit tersenyum. Ada yang membayangkannya sebagai tokok radikal pendukung teologi pembebasan. Ada yang membayangkannya sebagai pejuang politik revolusioner. Ada yang membayangkannya sebagai sosok pemimpin agama yang kawin dengan Maria Madgalena.

Tanggapan terhadap Pribadi ini juga beragam. Ada yang mengundang-Nya makan malam seperti Zakheus. Ada yang menolak-Nya dengan sedih karena lebih mencintai hartanya, seperti anak muda yang kaya. Ada pula yang mengkhianati dan menyangkali Dia, seperti Yudas dan Petrus. Atau, orang malah menggunakan nama-Nya sebagai makian! (Mengapa tidak ada orang yang memaki dengan mengatakan “Abraham Lincoln!” atau “Mahatma Gandhi!”?) Siapakah Dia sebenarnya?

Richard Nixon, Presiden AS, terbawa perasaan gembiranya tahun 1969 ketika para astronot Apollo pertama kali mendarat di bulan. “Ini adalah hari terbesar sejak Penciptaan!” katanya dalam pidato. Billy Graham dengan serius menegur presiden ini dan mengingatkannya akan Natal dan Paskah.

Dengan ukuran apa pun dalam sejarah, Graham benar. Orang Galilea ini, yang dalam hidupnya berbicara pada lebih sedikit orang daripada yang bisa mengisi satu saja stadion tempat Graham pernah berkhotbah, mengubah dunia lebih daripada siapa pun. Dia memperkenalkan kekuatan baru pada sejarah, dan sekarang pengikut-Nya berjumlah sepertiga penduduk bumi.

Ratu Victoria dari Inggris suka berjalan-jalan di pedesaan dengan menyamar sebagai orang biasa. Suatu saat ia pergi diikuti oleh pelayannya. Di jalan ia bertemu dengan sekawanan domba yang digembalakan seorang anak kecil. Anak itu berteriak, “Hei, minggir kamu, dasar perempuan goblok!”

Ratu Victoria hanya tersenyum, tidak mengatakan apa-apa. Ketika pelayannya muncul, ia menjelaskan pada anak itu bahwa perempuan yang diteriakinya dengan kasar itu adalah Ratu Inggris.

“Oh, begitu ya,” kata anak itu, “dia seharusnya pakai baju kayak ratu dong.”

Begitu juga Yesus–Dia tidak datang ke dunia ini dengan segenap kebesaran-Nya sebagai Allah Sang Pencipta Alam Semesta. Dia tidak memasuki panggung kehidupan bumi ini dengan seluruh kemuliaan-Nya sebagai Raja segala raja. Dia tidak datang dengan membelah langit diiringi pasukan malaikat surgawi dan disongsong karnaval semarak benda-benda angkasa. Tidak, Dia hadir sebagai bayi merah yang bergantung sepenuhnya pada perawatan suami-isteri muda yang masih canggung, dan golongan yang pertama menyambut-Nya hanyalah para gembala.

Dan, jangan lupa, Dia tidak lahir di istana, melainkan di sebuah kandang. Kandang di Timur Tengah pada masa itu biasanya ditempatkan jauh dari lokasi pemukimam penduduk karena merupakan tempat yang sangat jorok oleh timbunan kotoran dan air kencing hewan bercampur dengan sampah. Bukan sebuah tempat yang steril untuk kelahiran orok yang masih merah.

Pertanyaannya: Bagaimana dengan kita? Apakah kita percaya bahwa Bayi yang lahir di kandang 2.000 tahun yang lalu itu adalah Allah yang menjelma menjadi manusia? Apakah kita menerima Dia sebagai Raja? Apakah kita seperti para gembala yang menyambut kelahiran-Nya dengan penuh sukacita? Atau, seperti orang Majus yang membawa persembahan, dan mengakui Dia sebagai Raja dengan mempersembahkan emas, menyembah Dia sebagai Allah dengan mempersembahkan kemenyan, dan menyambut-Nya sebagai Juruselamat dengan mempersembahkan mur? Benarkah Dia The Greatest One, Pribadi paling agung, paling luar biasa, dalam kehidupan ini?

Ataukah, kita kurang ajar seperti bocah gembala yang meneriaki Ratu Inggris itu–karena tidak mengenalnya sungguh-sungguh? Ataukah kita seperti penjaga penginapan, yang tidak memiliki tempat yang layak untuk menyambut kedatangan-Nya? Atau, malah seperti Herodes, yang berusaha membunuh Bayi yang kelak akan dinobatkan sebagai Raja itu?

Secara pribadi Tuhan mengajukan pertanyaan kepada kita: “Siapakah Aku, menurut engkau?” Yesus secara tegas menyatakan, “Aku berkata kepada-Mu: Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Anak Manusia juga akan mengakui dia di depan malaikat-malaikat Allah.”

Pada akhir zaman, milyaran manusia akan tersebar di atas dataran yang luas di hadapan tahta Allah. Beberapa kelompok di bagian muka berbicara dengan serunya. Bukan dengan kengerian disertai rasa malu, melainkan dengan suara seperti sedang berperang.

“Bagaimana Allah dapat menghakimi kita? Bagaimana Dia dapat mengetahui tentang penderitaan?” sentak seorang gadis berambut cokelat. Dia menyingsingkan lengan bajunya untuk menunjukkan sebuah nomor tato dari sebuah kamp konsentrasi Nazi. “Kami mengalami teror, pukulan, aniaya, kematian.”

Di kelompok lain, seorang pria berkulit hitam menurunkan kerahnya. “Bagaimana dengan ini?” dia menuntut, sambil menunjukkan bekas luka jerat. “Dihukum mati tanpa kesalahan, tetapi hanya karena berkulit hitam! Kami mati lemas di kapal budak, disentakkan dari orang-orang terkasih, bekerja keras, dan hanya maut yang memberikan kelegaan.”

Di hamparan tanah datar itu terdapat ratusan kelompok seperti mereka. Setiap orang mengeluh terhadap Allah atas kemalangan dan penderitaan yang dibiarkan-Nya berlangsung di dunia ini.

Betapa mujurnya Allah tinggal di Surga, di mana semuanya manis dan terang, tidak ada tangisan, rasa takut, kelaparan, kebencian. Memang, apa yang Allah tahu tentang bagaimana manusia telah dipaksa untuk menderita di dunia ini? “Bagaimanapun, Allah menikmati kehidupan yang sangat terlindung,” kata mereka.

Maka, masing-masing kelompok mengirimkan seorang pemimpin, yang dipilih karena dialah yang paling menderita. Ada orang Yahudi, orang kulit hitam, orang India dari kasta yang tidak tersentuh, anak haram, seorang dari Hiroshima, dan seorang dari kamp perbudakan Siberia. Di tengah dataran itu, mereka berunding satu sama lain. Akhirnya, mereka siap untuk mengajukan kasus mereka.

Pengadilan itu sederhana saja: Sebelum Allah layak menjadi hakim mereka, Dia harus mengalami apa yang telah mereka alami. Keputusan mereka adalah bahwa Allah harus dihukum untuk tinggal di bumi sebagai seorang manusia.

Tetapi karena Dia adalah Allah, mereka memberikan batasan tertentu agar Dia tidak memakai kuasa ilahi-Nya untuk menolong Diri-Nya Sendiri:

Biarlah Dia lahir sebagai seorang Yahudi.
Biarlah keabsahan kelahiran-Nya diragukan, sehingga tidak seorang pun tahu siapa sebenarnya ayah-Nya.
Biarlah Dia mengadili sebuah perkara dengan sangat adil, namun sekaligus sangat radikal, sehingga otoritas religius yang kolot dan otoritas tradisional lainnya membenci Dia, menghukum-Nya dan berusaha menyingkirkan-Nya.
Biarlah Dia mencoba menggambarkan apa yang tidak pernah dilihat, dirasakan, didengar atau dicium oleh manusia. Biarlah Dia mencoba mengkomunikasikan Allah kepada manusia.
Biarlah Dia dikhianati oleh teman-teman terdekat-Nya. Biarlah Dia didakwa dengan tuduhan-tuduhan palsu dan diadili di depan juri yang berprasangka dan dihukum oleh hakim yang pengecut.
Biarlah Dia merasakan betapa mengerikannya kesendirian itu, benar-benar disingkirkan oleh setiap makhluk hidup. Biarlah Dia dianiaya, dan biarlah Dia mati dengan cara yang paling memalukan bersama dengan pencuri biasa.
Saat setiap pemimpin mengumumkan bagian hukumannya, suara bernada setuju terdengar bergemuruh dari gerombolan orang banyak itu.

Ketika pemimpin terakhir selesai mengumumkan hukumannya, ada keheningan yang panjang. Tidak seorang pun mengucapkan sepatah kata lagi. Tidak seorang pun bergerak. Karena, tiba-tiba, semua orang tahu–Allah telah menjalani hukuman-Nya.

Begitulah. Kita bisa mengabaikan Yesus. Kita bisa mencemoohkan Dia. Kita bahkan bisa menghakimi Dia. Namun, menurut Yesus, apa pendapat kita tentang diri-Nya dan apa tindakan kita berdasarkan pendapat itu, akan menentukan nasib kita di dalam kekekalan.

Jadi, sekali lagi, pertanyaan-Nya terus bergema sepanjang lorong sejarah, “Menurutmu, siapakah Aku?” ***

Sending
User Review
5 (1 vote)

Add Comment

Klik sini untuk komentar